Menuju Masyarakat Multikultural

Manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat.

Baca pos ini lebih lanjut

Budaya dan Etika Politik yang Berwawasan Kebangsaan

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat multicultural, dimana dapat dilihat keberagaman yang terjadi di wilayah kita. Majemuk  biasanya melahirkan dua peluang yakni sebagai sarana konflik dan keindahan dalam perbedaan. Kita juga dapat melihat, konflik yang terjadi diberbagai daerah merupakan suatu bentuk kurang bisa memahami suatu kebudayaan pada suatu tempat. Hal ini dikarenakan sikap dari pendatang kurang dapat menginternalisasi nilai-nilai yang selama ini berjalan dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut, lahir dari kebiasaan dan norma yang berjalan dalam masyarakat. Baca pos ini lebih lanjut

Apakah Filsafat Itu; (Sebuah Pengantar Kealam Filsafat)

Kenalilah dirimu sendiri, maka kamu akan mengenali Tuhan (perkataan orang bijak)

Pendahuluan

Ketika mendengar istilah filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “moster” yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Filsafat dari sini melahirkan mitos-mitos dalam seputarnya, seperti kita jangan terlalu serius dalam belajar filsafat. Bila orang tidak kuat, jangan-jangan otak kita akan menjadi gila. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehar-hari dan kita melaluinya. Mitos tentang filsafat tersebut tersebar di orang awam. Tetapi, sebagaian agamawan pun, mengatakan agamawan dikarenakan orang agamawan dalam pemikirannya cenderung menerima kebenaran secara multak. Tetapi itu akan berlainan jika kita melihat dari pemikiran kaum filosof ia menerima kebenaran yang bersifat tidak mutlak, dikarenakan pola pemikirannya yang bersifat induktif. Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan, dikarenakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari esensinya. Baca pos ini lebih lanjut

Globalisasi dan Multikulturalisme; Sebuah Realitas

Naik kereta api tut ut tut/siapa hendak turut/…

kereta ku tak berhenti lama (nyayinan waktu kecil).

Dengan keberagaman hidup jadi indah dan penuh warna warni

Pendahuluan

Nyanyian kereta api yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak adalah mengambarkan nasib sebagian penghuni bumi yang tersisir ditinggalkan oleh kereta globalisasi yang melaju semakin kencang. (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama). Memasuki melinium ketiga ini kita disibukan dengan dengan istilah globalsasi yang menjadi arus tidak dapat di bendung. Shimon Peres menyatakan kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap suatu kebenaran suatu waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus global. (H.A.R.Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Senada pula yang diutarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah perkataan yang sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami prospek kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat mengabaikannya. Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap Negara membicarakan globalisasi dengan cukup intenship seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin kata ini adalah globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya dengan globalisierung. (Anthony Giddens, Runaway World). Baca pos ini lebih lanjut

FILSAFAT MANUSIA; Siapakah Manusia?

A. Pendahuluan

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999) Baca pos ini lebih lanjut